AINI SWASTIKA
RANNY
15840051/AKUNTANSI
SYARIAH B
TUGAS
PANCASILA MATERI HUBUNGAN ANTARA PANCASILA,AGAMA, DAN NEGARA
Hubungan
Negara, Agama dan Pancasila sudah tertulis dalam UUD 1945 “Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta penempatan
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai
beberapa makna, yaitu: Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan
kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan
di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha
Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena
sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai
”Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah
“Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak
lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara
persatuan dan persaudaraan antar semua komponen bangsa. Ini berarti,
tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah
menjadikan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan
utama yang harus berada di atas kepentingan primordial lainnya. Kedua, Seminar
Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan
Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila ”Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”
adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk
melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh
rakyat. Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam
melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara
oleh rakyat. Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga
berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu
kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas
dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1)
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan
sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan
sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan
sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan
berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan Indonesia
(berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam
Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang
Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan,
kemanusiaan, dan kerakyatan. Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa” juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara
terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan
atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap
Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2
UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan
untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak
beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan
pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut
secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain. III. Prinsip
Ketuhanan dalam Kehidupan Bernegara Prinsip Ketuhanan berangkat dari keyakinan
bahwa tindakan setiap manusia, termasuk dalam mengelola bangsa dan negara akan
dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ini berarti setiap tindakan
manusia, baik yang bersifat personal maupun bersifat kenegaraan, berdimensi
ke-Tuhan-an atau berdimensi ibadah. Prinsip Ketuhanan juga berarti bahwa
manusia merupakan ciptaan Tuhan yang dilahirkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah
(wakil Tuhan, pengelola alam semesta) di bumi dengan tugas utama mengelola alam
sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama seluruh
umat manusia dan segenap mahluk hidup, serta untuk menjaga kesinambungan alam
itu sendiri. Jika konsekuen dengan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa” maka sudah barang tentu negara tidak akan memberikan toleransi dan
kesempatan kepada setiap aparatusnya (pejabat negara, pegawai negri sipil,
pegawai BUMN/BUMD, anggota TNI, anggota Polri, dan lainnya) melakukan
penyalahgunaan kekuasaan, seperti: pelanggaran hak asasi manusia, tindak pidana
korupsi, kerusakan lingkungan, konflik horizontal, dan hal-hal destruktif
lainnya yang menimbulkan ketidakadilan dan kerusakan, yang justru bertentangan
dengan hakekat ajaran agama dan tujuan negara didirikan.Walaupun Indonesia
merupakan negara yang majemuk, dari segisuku, agama, dan terdiri dari
pulau-pulau yang tersebar, namun belajar dari pengalaman sejarah sejak
kemerdekaan, peran negara dalam penciptaan iklim demokrasi dan persatuan
bangsa, walaupun melalui aneka tantangan, tetapi masih merupakan salah satu
modal bagi pembangunan yang berkelanjutan. Posisi negara yang relatif kuat
dalam menghadapi masyarakat sipil yang dinamis dan majemuk merupakanaspek
strategis yang dibutuhkan bagi pembangunan. Jadi hubungan antara negara, agama
dan pancasila sangat berkaitan dan mungkin tidak dapat dilepaskan karena negara
tanpa dasar negara yaitu pancasila tidak akan dapat tumbuh seperti ini dan
pertumbuhan negara yang sangat pesat saat ini tidak akan maju tanpa adanya
landasan agama yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Nilai-nilai agama dalam membangun bangsa
: Nilai-nilai
keagamaan merupakaan unsur utama pembangunan bangsa sehingga harus tetap
dipertahankan dan dikembangkan, Indonesia merupakan negara demokrasi yang
menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Ajaran agama juga merupakan unsur
pembentuk karakter generasi muda, tidaknya suatu negara tergantung bangsanya,
terutama para generasi muda yang lebih dominan mewarnai kehidupan bangsa. Agama
mampu menjadikan generasi muda tersebut terhindar dari hal-hal buruk. Agama
sebagai tiang dalam berbangsa dan bernegara tanpa agama dalam membangun bangsa
tidak akan dapat maksimal karena agama yang membuat adanya keyakikan dalam
hidup untuk membangun bangsa.
Nilai- nilai pancasila dalam membangun bangsa : Pancasila
merupakan dasar negara yang sangat penting dalam kelangsungan berbangsa dan
bernegara. Nilai dalam pancasila sangat banyak untuk diterapkan dalam membangun
bangsa. Secara keseluruhan pancasila merupakan landasan utama dalam membangun
bangsa. Dan sila-sila dalam pancasila dapat diterapkan da merupakan nilai-nilai
utama dalam membangun bangsa. Nilai yang ada dalam pancasila menjadikan dasar
sebagai tingkah laku dalam merbangsa, seperti halnya dalam mengambil keputusan
dalam kebijakan negara yang bertujuan untuk mensejahterakan dan menjadikan
bangsa ini menjadi lebih baik lagi.
Nilai-nilai negara dalam mebangun bangsa :Negara
merupakan bagian utama dalam pembangunan bangsa. Negara sebagai media
penyaluran untuk membangun bangsa. Tanpa negara bangsa tidak dapat dibangun
karena nilai negara sangat menjadi acuan dalam membangun bangsa. Negara adalah
elemen penting dalam sebuah kehidupan di suatu bangsa.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar